uas artikel paud

Cahaya Islami

Assalammu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu.. Semoga apa yang ada di sini dapat bermanfaat bagi kita semua, InsyaAllah .. Terima kasih atas kunjungan Anda semua. Jazakumullahu khairan wa barakallahu fiikum.

Mari kita mengamalkan Al Qur'an


Al Qur’an merupakan sumber rujukan paling utama bagi umat Islam, dan bagian dari rukun iman. Al Qur’an adalah pedoman hidup dan rahmatan lil ‘alamin. Artinya, barangsiapa yang mengaku dirinya sebagai muslim, maka sudah sepantasnyalah dia mengamalkan apa-apa yang terdapat di dalam Al Qur’an.

Syeikh Yusuf Qaradhawi menyebutkan, paling tidak ada 2 hal yang harus ditempuh agar kita dapat mengamalkan Al Qur’an dengan baik dan benar yaitu;


1. Memulainya dengan mengimani Al Qur’an dahulu secara kaffah, menyeluruh, totalitas, tanpa tawar-menawar.
Tanpa iman kepada Al Qur’an, maka dipastikan
akan sulit mengamalkan isi Al Qur’an.

Iman kepada Al Qur’an berarti beriman kepada
seluruh kandungan yang ada di dalamnya, yang
berupa aqidah, ibadah, syiar, akhlaq, adab, syariat, dan muamalah.
Seorang muslim tidak boleh hanya mengambil sebagiannya saja, misalnya dia hanya mengambil bagian aqidah, namun menolak bagian ibadah. Atau dia mengambil bagian syariat, namun menolak aqidah. Atau dia mengambil bagian ekonomi, namun menolak bagian politik, atau pensyariatan bagi segala urusan. Dan seterusnya.
Mengenai hal ini, ada beberapa contoh kasus, di
mana ada sebagian umat Islam yang mengimani
sebagian ayat-ayat Al Qur’an, namun menolak
sebagian ayat-ayat yang lain.
Misalnya mengenai ayat tentang wajib berpuasa Ramadhan.
ALLAH berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa…”
[QS. Al Baqarah: 183]

Ketika mendengar ayat ini, maka seorang muslim mengatakan kami dengar dan kami taat. Mereka melaksanakan puasa Ramadhan.
Namun ketika ALLAH berfirman;
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”
[QS. Al Baqarah: 178-179]

Mereka bimbang dalam melaksanakan hukum
qishaash. Bahkan menjadikan hukum ini sebagai bagian dari syariat Islam yang menyeramkan.
Padahal ayat tentang qishaash ini urutannya ada di 4 ayat sebelum kewajiban berpuasa, namun mengapa mereka hanya mengimani kewajiban berpuasa saja?

Contoh kasus lain adalah dalam pelarangan riba.
ALLAH berfirman;
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada ALLAH dan tinggalkan sisa riba jika kamu
orang-orang yang beriman.”
[QS.Al Baqarah: 278]

Kaum muslimin percaya tentang ayat ini. Namun
ketika dalam pelaksanaannya, mereka berpikir
lagi, bagaimana mungkin mendirikan bank tanpa riba? Adakah untungnya mendirikan bank tanpa riba? Padahal ALLAH sudah jelas-jelas
memerintahkan kita untuk meninggalkan riba.
Akhirnya ALLAH memberikan pelajaran
berharga kepada umat Islam, khususnya di
Indonesia, ketika terjadi krisis moneter 1998.
Ketika itu perekonomian Indonesia yang dibangun di atas sistem ribawi hancur berantakan.
Semenjak itulah umat semakin sadar akan buruknya riba dan mulai melirik kembali sistem ekonomi Islam. Sehingga bank-bank syariah dan sistem ekonomi syariah mulai bermunculan.

Contoh kasus lain, adalah ayat tentang ta’adud
(poligami). ALLAH berfirman:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
[QS. An Nisaa: 3]

Para muslimah / akhwat meyakini ayat ini, tentang dibolehkannya poligami hingga 4 istri, namun masih ragu dalam menerapkannya. Berbagai alasan dilontarkan ketika akan menghadapi hal ini.

Mengimani Al Qur’an berarti mengimani seluruhnya tanpa kecuali. Karena Al Qur’an adalah satu kesatuan yang utuh. Antara ayat satu dengan yang lainnya saling bertautan, dan saling melengkapi.
Dengan mengimani Al Qur’an seperti ini, maka
insya Allah mudah dalam mengamalkannya.


2. Memberikan perhatian kita kepada apa-apa yang ada atau yang diperhatikan oleh Al Qur’an.

Misalnya perhatian Al Qur’an terhadap anak-anak yatim. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang
menyebutkan tentang anak yatim. Rasulullah
sendiri lahir dalam keadaan yatim.
Ini menandakan bahwa anak yatim patut mendapatkan perhatian serius dari kita, dan ini adalah hal yang sangat penting. Maka sudah sewajarnyalah kita, dan juga negara, untuk tidak menelantarkan anak-anak yatim. Selain anak-anak yatim, dalam Al Qur’an juga terdapat perhatian terhadap memberi makan orang-orang miskin.

Contoh lain, adalah tentang menikah. Islam itu
tidak “cuek” dengan orang-orang yang masih
bujang/gadis, ALLAH berfirman:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di
antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin ALLAH akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan ALLAH Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.”
[QS An Nur: 32]

Perhatian Al Qur’an terhadap orang-orang yang
sendirian dan orang-orang yang sudah layak
kawin, menandakan bahwa mereka (para
bujangan/gadis) juga harus diperhatikan oleh
kaum muslimin. Mereka musti dicarikan pasangan hidup (dinikahkan), bukan justru diajari pacaran atau berzina dengan berbagai covernya.


Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini,
yaitu:

1. Perkara yang menjadi perhatian Al Qur’an berarti merupakan perkara penting.

Itulah mengapa para ustadz-ustadz atau kyai-kyai yang sering berceramah, seolah-olah tidak pernah kehabisan bahan untuk berceramah.
Karena hal-hal penting yang harus mereka sampaikan semuanya sudah ada di dalam Al Qur’an.
Muslim secara umum pun seharusnya juga demikian, tidak sulit dalam berdakwah, karena hal-hal yang perlu disampaikan dalam dakwah, semuanya sudah dicantumkan dalam Al Qur’an.

Kita ambil satu contoh tentang perkara penting
yang ada dalam Al Qur’an, yaitu mengenai malam Lailatul Qadr.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al
Qur’an) pada malam kemuliaan (lailatul qadr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar.”
[QS. Al Qadr: 1-5]

Dengan adanya perhatian Al Qur’an pada lailatul
qadr, maka perhatian kita juga jangan sampai
terlewatkan dengan yang namanya lailatul qadr,
karena dia adalah malam yang begitu penting,
malam kemuliaan, sekali dalam setahun.


2. Prioritas yang diberikan oleh Al Qur’an menunjukkan prioritas pengamalannya.

Contoh mengenai hal ini adalah tentang kisah Bani Israil yang selalu disebut berulang-ulang dalam Al Qur’an.
Ini menunjukkan betapa pentingnya,
betapa urgen (prioritas)nya kita dalam
memberikan perhatian terhadap kaum yang satu ini. Oleh karena itulah tidak layak bagi suatu negeri yang mayoritas berpenduduk muslim untuk menjalin hubungan dengan kaum Yahudi (Bani Israil), karena mereka adalah bahaya laten.

Apalagi ALLAH berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti
agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya
petunjuk ALLAH itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka ALLAH tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
[QS. Al Baqarah: 120]

Contoh lain mengenai prioritas adalah tentang
thaharah (bersuci), shalat & zakat, serta puasa.
Thaharah diterangkan dalam Al Qur’an hanya
beberapa kali saja, contohnya dalam surat Al
Maidah ayat 6. Sedangkan Al Qur’an menerangkan tentang shalat dan zakat berkali-kali. Lalu tentang puasa, Al Qur’an juga menyebutkannya berkali-kali, namun tidak lebih banyak dari shalat dan zakat. Ini semua menandakan skala prioritas dalam pengamalan (pengajaran)nya. Ketika Al Qur’an menunjukkan sebuah indikasi prioritas, maka disitulah terdapat skala prioritas.
Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari apa-apa yang terdapat di dalam Al Qur’an.

Demikianlah, dua hal yang harus kita mulai dalam mengamalkan Al Qur’an. Yaitu dimulai dari
mengimaninya secara menyeluruh, lalu
memperhatikan apa-apa yang diperhatikan oleh Al Qur’an. Ayo kita amalkan Al Qur’an.







Note:
1. Bagaimana Berinteraksi dengan Al Qur’an
:Yusuf Qaradhawi
2. Klasifikasi Kandungan Al Qur’an: Choiruddin Hadhiri SP


Tathayyur



Sudah menjadi fenomena yang sulit untuk dihilangkan di kalangan umat Islam, khususnya yang ada di Indonesia perihal merasa sial terhadap datang atau terjadinya sesuatu. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa umat Islam telah lama meninggalkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Mereka menjadi asing dengan ajaran Islam yang murni dan lebih mengedepankan taqlid (mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu) pada wejangan nenek moyangnya. Memang sungguh menyedihkan, tapi inilah tugas yang harus kita kerjakan untuk mengembalikan aqidah ummat yang terbengkalai dengan berbagai khurafat, kesyirikan, kebid’ahan, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya yang jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Allah dan Rasul-Nya telah mengancam dengan ancaman yang keras bagi mereka yang mempercayai Tathayyur. Berikut ini akan dijelasan secara ringkas mengenai makna, hukum dan bentuk Tahhayyur yang ada pada zaman dahulu dan sekarang.



*Makna Tathayyur.

Tathayyur berasal dari ath-thiyarah, yang berarti merasa sial karena suatu hal. Pada mulanya, orang Arab merasa bernasib sial karena burung-burung tertentu, seperti: burung gagak, burung hantu, serta berbagai hewan lainnya. Kemudian istilah ini dimutlakkan penggunaannya pada semua perasaan sial, apapun bentuk dan penyebabnya.



*Hukum Tathayyur dalam Tinjauan Syari’at.

Dalam sebuah hadits, Nabi SAW pernah bersabda: “Tidak ada penyakit menular, dan tidak ada kesialan karena burung serta burung hantu dan bulan Shafar, tidak pula karena jin.” (HR. Bukhari Muslim) Dalam hadits tersebut, Nabi SAW menolak adanya penyakit menular dan thiyarah, serta meniadakan adanya kesialan akibat burung malam, yakni burung hantu. Karena dahulu mereka menganggap sial yang disebabkan hal-hal tersebut. Bentuk thiyarah ini merupakan bentuk kesyirikan, berdasarkan sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang membatalkan keperluannya karena thiyarah, maka sesungguhnya ia telah berbuat kesyirikan”. (HR. Imam Ahmad 2/220 dan Imam ath-Tabrani 5/105).
Juga hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud RA, “Thiyarah adalah syirik, thiyarah ialah syirik !!! ” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Tathayyur dikategorikan syirik karena adanya keyakinan bahwa burung atau manusia, bergantinya bulan atau terjadinya sesuatu, semua itu mempunyai pengaruh buruk tanpa adanya kehendak Allah SWT, dan terdapat kekhususan dengan kemalangan tersebut.



*Berbagai Bentuk Tathayyur di Masyarakat pada Zaman Kini.

Bentuk tathayyur masa kini merupakan kelanjutan kepercayaan masa lampau.
Bentuk tathayyur masa lampau yang masih terbawa sampai sekarang adalah merasa sial karena adanya burung gagak atau burung hantu. Muncul rasa pesimis, jika ada burung hantu di dekat rumah, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut akan mengalami musibah (kematian). Atau merasa sial karena adanya bulan tertentu, misalnya bulan Shafar. Banyak orang yang menghindari bulan ini untuk pernikahan. Demikian juga ada sebagian orang yang merasa sial dengan bulan Syawal atau bulan Dzulqa’dah. Atau juga bulan Muharram (bulan terbunuhnya Husain bin 'Ali ra), sehingga mereka tidak mau melangsungkan pernikahan di bulan ini. Termasuk kategori tathayyur yang lain, yaitu merasa sial karena orang tertentu, dan menganggap bahwa orang tersebut sebagai pembawa sial. Termasuk tathayyur pula, yaitu merasa sial karena angka tertentu, seperti angka tiga belas, atau angka empat. Oleh karenanya, sebagian orang tidak mau bepergian pada tanggal 13, tidak mau membeli rumah nomor 13, tidak mau memberi nomor lantai ke-13 pada gedung bertingkat (biasanya diberi nomor 12a atau 12b). Masih banyak lagi tathayyur yang lain, yang pada intinya adalah merasa bahwa dirinya akan ditimpa kesialan, atau akan terjadi sesuatu yang buruk karena suatu benda ataupun perbuatan. Yang mana semua ini bersifat ghaib. Padahal manusia tidaklah mengetahui sesuatu yang ghaib, demikian pula Nabi yang mulia Muhammad SAW juga tidak mengetahui sesuatu yang ghaib, kecuali dijelaskan oleh Allah SWT melalui wahyu-Nya. Hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui hal-hal yang ghaib, baik yang berada di langit maupun di bumi.
Allah swt berfirman: “Dan pada sisi Allah-lah kunci- kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji- pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"(QS. Al- An’am: 59)

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Kunci-kunci semua yang ghaib ada lima, yang tidak diketahui kecuali Allah: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34) (HR Bukhari: 4627)



*Penanggulangan dari Kerusakan Tathayyur

Pertama: Pemahaman yang benar terhadap syari'at serta keimanan yang kokoh, bahwa hanya Allah SWT yang memiliki kekuasaan, segala sesuatu ada di tangan-Nya. Dan harus meyakini, bahwa tidak ada suatu benda pun yang mempunyai pengaruh, kecuali atas izin dari Allah SWT. Allah SWT tidak menjadikan kekhususan pada nama dan angka tertentu untuk memberikan pengaruh yang jelek, yang menyebabkan nama dan angka tersebut harus dijauhi.

Kedua: Mengetahui larangan Rasulullah terhadap thiyarah dan penolakan serta sikap keras beliau terhadap perkara ini. Mengetahui banyaknya pahala yang akan diperoleh karena tidak melakukan tathayyur. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda tentang 70 ribu orang yang bakal masuk surga tanpa hisab, mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (pengobatan dengan besi panas), tidak merasa sial karena burung, dan mereka yang bertawakal kepada Allah”. (HR. Muslim dan lainnya)
. Dan manusia memahami serta mengenal bahaya tathayyur serta pahala yang diperolehnya apabila menjauhi tathayyur, pasti ia akan menjauhinya.

Ketiga: Bertawakal dengan baik kepada Allah SWT. Sesungguhnya tawakal ini akan menghapus tathayyur dan tasya'um (sikap pesimis).

Keempat: Hendaklah berkata, “Ya Allah, tidak ada kebaikan melainkan kebaikan-Mu, dan tidak ada sesuatu melainkan milik-Mu, dan tidak ada sesembahan selain Engkau”. [HR. Ahmad (2/220) dan ath-Thabrani (5/105)]

Kelima: Hendaklah manusia melakukan sesuatu yang diinginkan dengan landasan percaya kepada Allah SWT dan tawakal kepada Allah SWT serta berdasarkan keyakinan bahwa tidak akan terjadi kesialan kecuali sebelumnya telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking